lostduskworld

Langkah yang penuh keyakinan tengah menapaki jalan menuju altar. Setelan putih yang dikenakannya tampak bersinar dalam teduhnya pagi. Senyuman hangat Elgar menyapa seluruh tamu undangan yang hadir. Rasanya masih seperti mimpi saat dirinya telah berdiri di altar. Sebuah kepuasan hadir dalam dirinya saat dapat melihat jelas sorot mata dan senyum bahagia dari para tamu undangan yang hadir. Dekorasi pernikahan yang sederhana membuat kebahagiaan itu dapat terlihat jelas di matanya.

Sorak sorai mulai terdengar saat Ruby mulai terlihat menapaki jalan menuju altar. Senyum cerah yang terpatri di wajah Ruby mengundang rasa haru. Manik Ruby menyapa para tamu undangan yang turut tersenyum padanya. Sungguh, ini adalah euforia yang baru Ruby rasakan, pun dengan sang Ayah yang menggandeng tangannya dengan penuh sukacita bahkan menitikkan air matanya.

Ruby sudah menitikkan air matanya saat sang Ayah menyapa Elgar dan memberikan pelukan pada lelaki itu. Yang terjadi hari ini sangatlah asing di pernikahan dirinya sebelumnya. Dirinya perlu membuang pikiran-pikiran dirinya tentang pernikahannya yang telah berlalu itu.

Langkah kecil yang menghampiri Elgar dan Ruby dengan menaburkan bunga di sepanjang jalan. Tawanya renyah terdengar di telinga semua orang. Sudah berulang kali Ruby mendongakkan kepalanya agar air matanya tak lagi turun untuk menyambut Koa dihadapannya.

Koa super happy!” Tangan kecilnya menyatukan tangan kedua orangtuanya.

Si kecil yang tak kalah bahagia dari pengantin itu enggan beralih bersama orang tua Elgar dan Ruby. Anak itu memilih berdiri di depan pemimpin upacara, diantara Elgar dan Ruby. Senyumnya terlihat puas saat Elgar dan Ruby mempersilahkan dirinya tetap berada diantara keduanya. Koa berada diantara genggaman tangan kedua orang tuanya.

From the moment I first met you, I knew that my life would never be the same again. You have shown me a love that is deep, unwavering, and full of warmth. However, the greatest gift you have given me is the opportunity to not only love you, but also love Koa.

Marrying you today is not only a commitment to be your husband, but also to be part of the wonderful family we are building together. I promise to love, honor, and cherish you-not only as my husband, but also as a partner in life, a lover, a friend, a safe place, and Father of someone so special.

I promise to stand beside you in every joy and challenge. To support you, laugh with you, dream with you, and grow with you. I promise to love Koa like my own, to protect, guide, and encourage him in every step of life.

Today, I'm not just saying 'I do' to you—I'm saying 'I do' to our family, to our journey, and to a lifetime of love. I am the luckiest man in the world, and I will spend forever and ever proving it to you.” Elgar ucapkan janjinya kalimat demi kalimat dengan menahan air matanya.

Genggaman tangan Ruby semakin erat pada Elgar. Janji panjang yang diucapkan itu menghadirkan perasaan yang campur aduk dalam dirinya. Koa yang mengetahui kedua orang tuanya menitikkan air matanya itu lantas mencium genggaman tangan kedua orangtuanya, menghadirkan senyum indah mereka untuknya.

From the moment you walked into my life, I knew you were special. But what truly made me fall in love with you was the way you embraced not just me, but also Koa. You didn’t just love me—you loved us.

Seeing you step into the role of a father figure with kindness, patience, and an open heart has been one of the greatest joys of my life. You didn’t have to love Koa the way you do, but you chose to, every single day. And for that, I am endlessly grateful.

Today, as I vow to be your husband, I also vow to always cherish the love and bond you share with Koa. I promise to support you as a husband and as the extraordinary stepfather you are. I promise to build a home filled with love, laughter, and unwavering support for our family.

I am so blessed to be standing here with you, knowing that I am not just gaining a husband, but a partner in life. I love you today, tomorrow, and always.” Sorot mata keduanya tak lepas sedetikpun sepanjang janji tersebut diucap.

Tangan kecil Koa menepuk punggung tangan Elgar untuk mendapatkan perhatian. Sebuah kotak cincin yang dibawanya itu diberikan pada Elgar. Saat keduanya bertukar cincin, Koa bersorak bahagia diantara mereka.

Riuh mulai terdengar setelah pemimpin upacara mengesahkan pernikahan keduanya. Akhirnya, keduanya resmi menjadi pasangan yang sah. Terdengar dari berbagai sisi tengah mendorong mereka untuk berciuman. Elgar dan Ruby bersamaan menengok Koa yang juga tengah mendongak memandang keduanya.

Koa will close eyes.” Dua telapak tangan kecil Koa menutupi mata indahnya yang berbinar.

Elgar dan Ruby mencondongkan tubuh mereka untuk mempertemukan belah bibir mereka. Sorak sorai semakin nyaring saat keduanya mulai saling mengadu bibir. Koa sedikit mengintip saat Elgar dan Ruby mengakhiri ciuman keduanya dengan sebuah kecupan singkat.

Badan kecil Koa diangkat oleh Elgar dalam gendongannya. Anak itu spontan membuka telapak tangan yang menutupi matanya. Raut terkejutnya tidak dapat dihindari saat Elgar dan Ruby bersamaan mencium pipinya. Pipi gembilnya itu seketika memerah padam.

Dengan langkah pasti, Elgar memasuki ruangan yang telah dia reservasi sebelumnya. Seseorang telah menunggunya di sana. Dirinya sudah memantapkan niatnya bahwa berbincang dengan Mario ini adalah untuk menghadirkan hubungan antara dirinya, Ruby, Koa, dan Mario yang lebih baik.

“Saya melihat Koa memanggil kamu dengan sebutan Ayah dan dia gunakan senyuman lebarnya, di mana hal itu sering saya dapatkan sebelumnya. Rasanya cukup menyakitkan untuk diketahui.” Mario terkekeh pelan, menertawakan dirinya sendiri.

“Untuk bersama saya, Ruby melepaskan banyak hal. Salah satunya adalah dirinya tidak lagi menjadi pewaris keluarga Harris. Amouris Group adalah bukti nyata dari kalimat itu. Dia memilih memulai usahanya sendiri dari awal alih-alih melanjutkan milik keluarganya hanya untuk bisa bersama saya.” Untaian kata Mario itu memamerkan dirinya pernah dicintai sebegitunya oleh Ruby.

Mario pertama kali bertemu Ruby di cafe miliknya. Kala itu, Mario melihat Ruby berbincang dengan seorang laki-laki lalu ditinggalkan tanpa menyentuh makanan dan minuman yang dipesan oleh Ruby. Mario pergi mengejar laki-laki itu untuk Ruby dan berakhir ditertawakan. Dari situ mereka mulai berbincang dan Mario ketahui bahwa Ruby dan lelaki itu baru menyelesaikan kencan buta yang diatur oleh orang tua mereka, dan tujuan Ruby memang menggagalkan kencan mereka.

Dari awal mengenal Ruby, Mario tahu bahwa Ruby bukan dari kalangan orang biasa, tapi tak pernah Mario kira bahwa kalangannya itu tak bisa dirinya jangkau. Keluarganya yang sangat berkecukupan itu nyatanya masih jauh kelasnya dari keluarga Ruby.

Mario sudah berpikir berulang kali untuk melanjutkan hubungannya dengan Ruby ke jenjang yang lebih serius atau tidak. Hadirnya Ruby dalam hidupnya itu sukses menghempas perasaan miliknya yang tersisa untuk Joan, sang patah hatinya. Langkahnya ingin mundur saat tak kunjung mendapatkan restu dari keluarga Ruby bahkan tak ada respon baik sama sekali dari mereka. Akan tetapi, Ruby menghidupkan semangatnya dengan langkah nekat yang diambilnya untuk bisa bersamanya. Hanya orang bodoh yang mau melepas seseorang yang memperjuangkannya sebegitu hebat.

Keluarga Ruby menyetujui pernikahan mereka hanya karena keinginan Ruby yang tak bisa dipatahkan. Intimate wedding yang diadakan adalah cara keluarga Ruby menjaga pernikahan itu tidak terendus oleh media dan rekan bisnis mereka, walaupun pada akhirnya Ruby mengungkapnya dengan sering membawa Mario dalam agendanya. Ruby juga selalu mengenalkan Mario dengan teman-temannya, pun ingin mereka memiliki hubungan yang baik juga, tetapi Mario tidak pernah mau melewati batas antara mereka. Baginya, satu langkah yang dia ambil untuk melewati batas itu, maka ada seratus langkah lain yang maju untuk memisahkan keduanya.

Disisi adanya tentangan dari keluarga Ruby, mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik dan membahagiakan. Keduanya sama-sama bekerja, tetapi selalu mengusahakan untuk ada satu sama lain. Tidak heran kalau banyak yang merasa iri dengan hubungan keduanya yang memiliki kebebasan dan tidak dalam aturan keluarga bahkan bisnis.

Di tengah hangatnya keluarga kecil mereka, Mario kembali bersua dengan Joan. Hal itu berawal dari Joan yang mengirim surel ke Mario untuk bertemu. Tanpa disangka, Joan datang bersama anak yang dikatakan adalah darah dagingnya. Awalnya Mario menyangkal hal itu, namun hasil kecocokan tes DNA merubahnya. Niat Joan awalnya hanyalah mengenalkan putrinya pada Mario, namun setelah mengetahui bahwa Mario telah menikah dan memiliki seorang anak, dirinya merasa sakit hati dan tak adil. Yang semula dirinya yakin bisa membesarkan putrinya sendiri, saat itu berubah. Dirinya juga menginginkan putrinya mendapat sosok Ayah.

Pertemuan diam-diam yang selalu dilakukan oleh Mario untuk menemui putrinya itu tentu cepat atau lambat akan diketahui oleh Ruby. Tidak lama setelah Ruby mengetahui hal itu, dirinya membawa Joan dan putrinya ke rumah. Dengan sadar dirinya akui putrinya di depan orangtuanya, Ruby, dan Koa yang tak mengerti apapun.

Dari awal, Mario tidak pernah diterima oleh keluarga Ruby. Saat mengetahui dirinya memiliki anak diluar pernikahan, keluarga Ruby tentu semakin tidak menyukainya dan marah padanya. Ruby dan putranya dengan cepat mereka bawa kembali. Melihat Ruby yang marah dan kecewa padanya itu justru mendorongnya untuk melepaskan Ruby, hingga saat surat gugatan datang padanya dirinya dengan pasrah menerima. Kepercayaan dirinya untuk meyakinkan keluarga Ruby sudah hilang, membuat jarinya yakin menandatangani surat gugatan dari Ruby.

Dengan perpisahan mereka, Mario berharap Ruby dan putranya bahagia tanpa dirinya yang tak pernah dianggap dalam keluarga Ruby. Dirinya bersyukur bahwa putranya disayang sepenuh hati oleh keluarga Ruby walaupun darahnya juga mengalir di sana. Akan tetapi, setelah perpisahan mereka, Ruby seringkali datang ke rumahnya bersama Koa. Tindakan Ruby itu didasari oleh Mario yang membawa Joan dan putrinya di sana.

Sikap Mario selalu membuat Ruby merasa tidak betah berada di rumahnya itu bukan tanpa alasan. Dirinya tahu Ruby tidak nyaman berada di sana bersama Joan dan putrinya, karena itu Mario bersikap seperti itu dengan harapan Ruby akan segera meninggalkan rumahnya. Sikapnya itu ternyata memberikan hasil yang sebaliknya. Ruby justru semakin sering datang ke rumahnya dan selalu membuat alasan saat Mario akan menemuinya dan Koa. Mario menghidupkan pertarungan antara Koa dan Wilona, bahkan rasa benci Ruby yang semakin memuncak.

Penyesalannya begitu terasa saat Ruby bersama Elgar. Mantan suaminya itu memutus kontak dengannya bahkan antara dirinya dengan Koa. Marahnya muncul saat Ruby memihak Elgar, menyebut lelaki itu pasangannya, bahkan Koa dekat dengan Elgar sampai memanggilnya Ayah. Mario merasa sakit hati dan tidak terima atas hal itu.

“Kamu mendapatkan banyak hal yang tidak pernah saya dapat selama menjadi pasangan Ruby,” tutup Mario setelah kisah panjang yang dirinya jelaskan.

“Kakak mencintai dua orang dalam satu waktu?” pertanyaan itu muncul dari Elgar setelah mencerna cerita Mario yang masih mencintai Ruby, namun juga menikah dengan Joan.

“Hanya Ruby.” Mario terkekeh melihat kebingungan Elgar. “Saya pernah mencintai Joan, tapi setelah bertemu Ruby dan sampai hari ini, saya mencintai Ruby. Saya bersama Joan hanya untuk memberi keutuhan untuk putri saya. Yang saya rasakan di keluarga Ruby, itu yang Joan dapatkan di keluarga saya.”

“Kakak sepertinya tidak pantas mencintai siapapun. Kakak hanya mau dicintai tanpa mencintai dengan setara.” Mario seakan ditampar oleh perkataan Elgar.

Mario pergi menerima panggilan sejenak, pergi sejenak dari keheningan ruangan itu. Elgar dengan menghela napas panjangnya memejamkan matanya mencerna panjangnya kisah yang dituturkan oleh Mario. Dirinya menangkap niat pertemuan ini yang berbeda dari arah pembicaraan Mario. Pria itu lebih mengungkapkan bagaimana dirinya bersama Ruby dahulu dengan segala rintang yang mereka lalui.

“Saya setuju menemui Kakak di sini dengan niat untuk membuat hubungan baik antara kita karena setelah ini saya resmi menjadi pasangan sah Kak Ruby. Akan tetapi, sepertinya arah pembicaraan Kakak bukan ke sana.” Elgar menghela napasnya setelah mengakhiri kalimat.

“Saya mau Ruby kembali bersama saya.” Mario tampak serius dalam mengucapkannya, lalu tak lama tawanya lepas membingungkan Elgar. “Saya sudah tidak memiliki kesempatan itu karena kamu.”

Setelah rentetan sikapnya yang menghidupkan kebencian dari orang yang dicintainya, Mario masih memiliki pikiran untuk kembali bersama Ruby. Hal itu membuat Elgar mempertanyakan penyesalan yang sempat diucap pria itu. Rangkaian kata bahwa dirinya kehilangan kesempatan karena Elgar itu seakan ingin menyalahkan Elgar, sementara dirinya melewatkan bertahun-tahun kesempatan yang ada.

“Saya terima bahwa kesempatan Kakak itu hilang karena saya dan saya juga tidak akan pernah memberikan kesempatan itu pada Kakak.” Mario menganggukkan kepalanya. “Tapi saya memberi Kakak kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan Koa. Kakak hanya mengakhiri hubungan dengan Kak Ruby, bukan Koa.”

Secarik kertas yang diletakkan Elgar di meja itu Mario ambil. Jemarinya meremat bagian ujung kertas yang dia pegang. “Untuk bisa bersama putraku juga harus atas izin kamu?” Mata Mario beralih menatap Elgar sinis.

“Ya, itu sudah sepantasnya. Kakak bisa pergi bersama Kak Ruby dan Koa hanya bertiga saja dan hal itu tentu perlu persetujuan dari saya. Saya adalah pasangan dari Kak Ruby sekaligus Ayah sambung Koa,” terang Elgar.

Mario lanjutkan membaca setiap poin yang tertulis. Hitam di atas putih yang dibuat oleh Elgar itu terlihat lebih rumit dari kesepakatannya dengan Ruby saat berpisah dahulu. Dapat Mario mengerti dari semua poin yang tertulis itu menunjukkan bagaimana Elgar menjaga Ruby dan Koa, dan itu membuat dirinya merasa semakin gagal.

“Saya harap ini bukan kertas belaka.” Mario bubuhkan tanda tangannya pada lembar kertas tersebut dan salinannya.

“Kertas ini bisa bersaksi jika terjadi hal yang tidak sesuai,” balas Elgar dengan mengambil salinan yang sudah tertera tanda tangan keduanya.

Sebelum Mario beranjak meninggalkan ruangan, Elgar sejenak menghentikannya. “Kak, jangan sampai kehilangan kesempatan lagi. Maaf saya sempat mendengar obrolan Kakak di telepon tadi.” Mario hanya mengangguk dan meninggalkan Elgar.

Cielo turun menuju tempat Alicio berada dengan dengusan kesal. Dirinya tidak habis pikir dengan Ayahnya yang iseng dengan Alicio. Ini belum pernah terjadi sebelumnya karena biasanya Elazar lebih menunjukkan sayangnya pada si kembar sampai membuat dirinya jengkel.

Langkah Cielo dan Acacio menjadi lebih cepat saat mengetahui keberadaan Alicio dan anak itu terlihat menangis. Sungguh, Cielo berani memukul Elazar untuk ini. Setidak sukanya dirinya atas si kembar, dirinya tidak segila ini untuk menjahili dengan hal yang cukup sensitif untuk ketiganya. Tidak menganggap anak itu sungguh kelewatan.

“Yah, aku berani ya mukul Ayah di tempat umum begini,” ancam Cielo sembari membawa Alicio dalam rengkuhannya.

“Tunggu, kamu salah paham–” “Salah paham gimana?! Jelas-jelas Ayah bilang gak mau ngakuin Io anak Ayah. Tahu gak itu sensitif buat kita bertiga?!”

Elgar tentu panik mendapat lontaran kalimat semacam itu. Terlebih lagi mereka sedang berada di tempat umum dan orang-orang saat ini mulai mendekat ke arah mereka. Dengan cepat Elgar menggendong Koa yang asik memakan cotton candy nya, “Kita bicara di tempat lain,” tuturnya lalu memimpin jalan ke tempat yang lebih privat.

“Kamu Kakak Iel dan kamu Io, kan? Boleh biarkan saya bicara terlebih dahulu?” Cielo mengangguk malas.

“Gak usah banyak drama deh, Ayah,” ketusnya.

Ruby di sebelah Elgar sungguh tidak habis pikir dengan anak yang dipanggil Kakak Iel. Anak itu terlihat begitu kasar pada orangtuanya. Tatapannya begitu buruk pada Elgar. Ruby mengerti bahwa mungkin memang ada hal yang mendasari sikapnya itu dan anak itu juga menyebutkan bahwa tidak mengakui anak adalah hal yang sensitif bagi mereka, namun tetap saja anak itu cukup kasar di matanya.

“Saya bisa mengerti emosi kamu yang marah karena tidak mengenali Alicio. Jujur, saya tidak mengenal Alicio bahkan kalian berdua.” Cielo berdecak kesal mendengarnya. “Saya bingung sekali sewaktu ada anak lain yang memanggil saya dengan sebutan Ayah selain anak saya, Koa. Akan tetapi, setelah Alicio menunjukkan foto orangtua kalian, saya bisa mengerti kenapa dia memanggil saya Ayah. Rupanya wajah orangtua kalian itu mirip dengan saya dan suami saya,” lanjutnya yang menghadirkan raut bingung Cielo dan Acacio.

“Kakak Iel dengar, kan? Ayah terus jawab begitu dan bicara kalau anaknya itu cuma adik kecil itu,” tunjuk Alicio pada Koa yang menatap mereka dengan pipinya yang celemotan akibat cotton candy yang dimakannya.

“Saya persilahkan kalian panggil orangtua kalian dan saya bisa pastikan ponsel kami tidak akan berdering.” Ruby menaruh ponsel miliknya dan Elgar di atas meja.

Benar saja, dua gawai di depan mereka tidak ada yang berdering saat Cielo menelepon sang Ayah, pun dengan Acacio yang menelepon sang Papa.

“Cielo, kalian di mana?” “Dede ketemu siapa? Ayah sama Papa nyusul ke tempat Dede beli crepes ini.” “Cielo, kamu sama Dede, kan” “Kamu punya mulut gak sih buat jawab?”

Rentetan pertanyaan Elazar itu tak dijawab oleh Cielo. Otaknya masih memproses hal yang baru dia terima. Sama halnya dengan Cielo, Acacio juga tak bergeming saat mendapat jawaban dari Ruelle.

“Halo, maaf panggilannya saya ambil alih. Anak kalian ada bersama saya dan suami di resto sushi dekat sana. Masuk saja dan pergi ke meja atas nama Elgar, kami di private room,” terang Elgar setelah mengambil ponsel Cielo yang dijatuhkan ke meja.


Elazar dan Ruelle mematung saat memasuki ruangan yang disebutkan oleh Elgar. Dengan spontan Elazar membuka kamera pada ponselnya dan mengambil gambar dirinya bersama Ruelle. Tentu saja gambar keduanya dapat tertangkap kamera.

Ayah and Obiy is two?” celoteh Koa yang kebingungan.

Ruby sama sekali tak menyangka bahwa mereka semirip ini. Melihat seseorang yang jelas lebih tua dari dirinya itu, pikiran pertamanya langsung mengarah pada wajahnya yang tampak tak menua. Sungguh, dirinya akan menanyakan perawatan yang dilakukan pria secantik dirinya itu.

“Jadi kalian baru menikah?” Ruby dan Elgar mengangguk. “Tapi anak kalian—”

“Koa anak saya dari pernikahan sebelumnya,” potong Ruby dengan cepat.

Ahh… masalah kita juga sama ternyata.” Ruby menaikkan alisnya bingung. “Divorce.” Ruby hanya tersenyum kikuk menanggapinya.

Cielo dengan tanggap mengajak Koa bermain menjauh dari empat orang dewasa itu ketika tahu pembicaraan mereka tidak untuk didengar anak-anak. Jujur, Cielo merasakan sedih saat tahu bahwa Ruby juga pernah bercerai. Dia seperti melihat dirinya sendiri dalam diri Koa, bedanya Koa dengan cepat mendapatkan kelengkapan keluarganya lagi walaupun tidak bersama ayah biologisnya.

Dalam obrolan empat orang dewasa itu, Elgar hanya bisa menyimak. Dirinya adalah orang yang baru merasakan kehidupan rumah tangga. Selain itu, mendengar sekelebat kisa Elazar dan Ruelle itu mengejutkannya karena ini lebih gila dari yang dialami Ruby, menurutnya.

“Obiy, Koa boleh eat candy dari Kakak?” suara lantang Koa menginterupsi obrolan mereka.

“Tadi promise apa ke Obiy dan Ayah?” “Only cotton candy for today,” balasnya lesu.

Dengan sedih, Koa mengembalikan permen yang dari Acacio.

You can take it. Tetapi tidak untuk dimakan hari ini, ya. Berikan pada Obiy untuk disimpan.” Ruelle memberikan sejumlah permen milik Acacio untuk Koa ambil.

You can take it and give it to Obiy,” sahut Ruby.

“Kalian sama-sama suka buat panggilan yang lucu ya,” celetuk Elazar setelah mengetahui panggilan Koa pada Ruby.

“Itu kata pertama Koa, Kak. Koa lebih mengingat nama Kak Ruby daripada sebutan Papi,” terang Elgar menjelaskan pada Elazar.

Elgar sesungguhnya menahan gemas sedari tadi melihat interaksi si kembar dengan Koa. Dua anak lucu terlihat begitu antusias dengan Koa, tampak sekali bayi sedang mengasuh bayi.

“Ai dan Io suka adik kecil, ya?” tanya Elgar menginterupsi kesibukan keduanya.

“Suka, asalkan bukan adik kecil dari Ayah dan Papaps,” balas Acacio yang disetujui oleh Alicio, bahkan Cielo.

Why Koa selalu adik, Ayah?” tanyanya karena dirinya banyak memanggil orang lain dengan sebutan kakak.

“Karena kamu bayi,” balas Elgar yang membuat Koa melipat tangannya di depan dada dan menghentakkan kakinya kesal. “Memang bayi tidak boleh jadi Kakak?”

“Boleh, bayi. Koa kan dipanggil Kakak oleh Alice dan Chloe.” Koa seketika tersenyum karena mengingat adanya Alice dan Chloe.

Ruby sudah menebak bahwa obrolan itu akan berlanjut menanyakan kapan Koa akan memiliki adik. Bukan tidak suka, Ruby sudah berbusa menjelaskan ke orang lain perihal dirinya yang memilih menunda.

“Saya mau Koa merasakan rasanya disayang dan hidup bersama orangtua yang utuh terlebih dahulu. Koa memang suka dengan bayi dan kami sudah mendengar berulang kali dirinya suka dipanggil kakak, tapi saya gak mau menghadirkan luka baru buat dia dengan adanya anak lain di rumah kami. Biar Koa nikmati menjadi satu-satunya anak kami saat ini,” terang Ruby.

“Koa sangat beruntung punya kalian berdua,” lirih Ruelle.

Jika bisa mengulang waktu, Ruelle juga akan melakukan hal itu. Dirinya ingin memanjakan Cielo sampai dirinya siap untuk memiliki adik. Akan tetapi, masa lalu tidak bisa dirinya ubah.

“Kita bertiga juga beruntung punya Ayah sama Papaps,” sahut Cielo yang menyimak pembicaraan orang dewasa itu. “Tapi bakal lebih beruntung kalau Ayah ditukar sama Om Elgar,” lanjutnya.

“Kasihan Koa kalau gitu, Iel.” Cielo tertawa puas dengan balasan Ruelle kali ini.

“Kakak Iel jangan seperti itu terus sama Ayah. Katanya sudah memaafkan Ayah,” sahut Acacio.

Elazar yang sedang menampakkan raut menyedihkannya itu tiba-tiba mendapat ciuman manis dari Koa. “Kamu bukan Ayah Elgar, tapi don’t sad ya.” Anak kecil yang beranjak ke pangkuan Elazar untuk memberikan ciumannya itu lantas dirinya rengkuh. “Dede ini so sweet sekali,” gemas Elazar.

“Obiy suka kiss Ayah kalau Ayah sedih.” Pelaku yang disebut Koa hanya tersenyum kikuk.


Mengasuh Koa bagi Elazar dan Ruelle rasanya seperti mengobati rasa rindu mereka mengasuh Cielo kecil dahulu. Elazar yang biasanya terpaku pada si kembar, kini pandangannya sulit beralih dari Koa. Ketiga anak mereka justru asik bermain dengan Elgar dan Ruby.

Dari awal kehadiran Cielo memang mengejutkan Elgar, namun anak itu masih terus mengejutkan dirinya dengan tingkah lakunya. Baru saja anak itu mengambil alih Kak Ruby kesayangannya itu untuk berkonsultasi mendapatkan restu orang tua menikahi berondong. Elgar pikir kekasih Cielo berjarak beberapa tahun dari anak itu, namun ternyata hanya beberapa bulan.

“Orangtua kamu itu bukan gak mau merestui kamu dan berondong kamu itu, mereka masih mau sayang-sayang kamu dengan puas sebagai anak mereka. Kamu masih muda untuk menikah,” sahut Elgar masuk ke dalam obrolan mereka.

“Emang sehabis nikah aku gak lagi jadi anak Ayah sama Papaps gitu?” sentaknya pada Elgar.

“Bukan begitu maksud Elgar. Setelah kamu menikah, situasinya akan beda. Kamu gak tinggal lagi satu atap dengan orang tua kamu dan mereka gak bisa seleluasa sekarang untuk menyalurkan afeksi ke kamu,” terang Ruby.

I see—by the way, muka Koa agak mirip sama aku waktu kecil. Mantan Obiy mirip Ayah juga?” Pertanyaan Cielo menghadirkan gelak tawa Ruby.

“Beda jauh.” “Tapi kelakuannya pasti agak mirip, soalnya kalian pisah.”

Ruby dan Elgar hanya bisa menggelengkan kepala pada Cielo yang beranjak meninggalkan keduanya. Mulut anak itu cukup pedas dalam berargumen. Keduanya tak bisa membayangkan jika Koa memiliki mulut sepedas itu, merinding rasanya.

Om Elgar help me, please.” Kedatangan si kembar membuyarkan pikiran Elgar dan Ruby.

“Ai juga perlu dibantu?” Alicio mengangguk dan mendekat ke arah Ruby untuk dibantu melepaskan roller blade yang dipakainya.

Disisi lain, ada Koa yang sangat menikmati bermain bersama Elazar dan Ruelle. Anak itu benar-benar sedang dimanjakan. Menaiki tangga papan seluncur saja dituntun oleh Elazar, pun saat turun, Ruelle akan menangkapnya. Saat di arena trampolin, sudah tidak terhitung berapa kali Koa tertawa lepas karena dibuat melompat tinggi oleh Elazar dan Ruelle.

Super fun tapi Koa haus, Ayah,” tuturnya dengan napas tersenggal.

“Kita ke tempat Ayah dan Obiy ya untuk minum.” Elazar pun menggendong Koa untuk pergi menyusul ke tempat Elgar dan Ruby.

Papaps looks so tired. Give Papaps tissue, Ayah,” pinta Koa.

That is fine. Papaps have tissue on bag,” balas Ruelle dengan senyuman hangat.

Dirinya sadar diri bahwa sudah bukan usia produktifnya untuk mengasuh anak balita. Dapat dipastikan bahwa nanti dirinya akan meminta Elazar memijatnya di rumah. Memang seharusnya dirinya kembali merutinkan kegiatan olahraganya agar ototnya tidak sering kaku.

“Obiy, Koa haus sekali,” adunya saat sampai.

“Sini sama Ayah. Lihat Ayah Elazar temani Koa main sampai engap,” tutur Elgar dengan kekehannya. “Pelan-pelan minumnya,” peringat Elazar pada Koa yang menyedot air dari botol minumnya.

“Di mobil nanti pasti tidur ini,” tutur Ruby melihat banyaknya energi Koa yang terkuras.

Twins make it fast please. Kakak mau rekaman habis ini,” panggil Cielo pada si kembar yang masih tertinggal mengambil barang mereka. “Handphone nya ketinggalan, dipakai buat bikin video tadi,” jelasnya pada Elazar dan Ruelle.

Sebelum mereka berpisah, mereka menyempatkan untuk bertukar tempat. Ruby masih perlu mengobrolkan hal yang belum tersampaikan pada Ruelle. Dirinya seperti mendapatkan Kakak baru setelah mengenal Ruelle. Orang yang dirinya anggap seperti Kakak sebelumnya sudah menjadi mertuanya sekarang.

“Nanti aku fotoin kalau udah sampai rumah,” tutur Ruelle mengingat permintaan Ruby.

Okay, thank you so much, Kak.” Ruby tersenyum lebar membalas Ruelle.

“Kak, mau barter Koa sama mereka berdua, gak?” Si kembar dengan cepat menggelengkan kepalnya atas tawaran Cielo pada Ruby.

“Jangan kebanyakan iseng.” Ruby menarik hidung Cielo atas itu.

Bye bye Kakak, biu biu~” Koa melemparkan ciuman jauhnya.

“Hati-hati di jalan ya, Kak. Nice to know you, by the way.” Elazar membalas jabatan tangan Elgar.

⚠️ : This narration contains mature content and explicit kiss scene. If you are underage, please be wise. You take your own risk.


Setelah panggilan berakhir, Elgar masih setia merengkuh Ruby. Dirinya justru mempererat rengkuhannya dan menyamankan dirinya yang bersandar di pundak Ruby. “Aku mau berendam, Elgar.” Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, membuat Ruby merasa geli atas rambut Elgar yang menggelitik lehernya.

“Kamu mandi sana, aku mau berendam,” ulang Ruby sembari melepaskan rengkuhan Elgar. Saat dirinya berjalan menuju kamar mandi, Elgar masih mengikutinya. “Kakak suruh aku mandi dan ini kamar mandiku.” Ruby dengan cepat menutup pintu kamar mandi, meninggalkan Elgar yang tersenyum puas menggodanya.

Elgar mengambil pakaian dan handuknya untuk dirinya bawa mandi di kamar mandi lainnya. Sebelum meninggalkan kamar, Elgar masih menyempatkan untuk menggoda Ruby di dalam kamar mandi. “Kak, aku gak dibukain pintunya?” Lelaki itu mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali. “Memangnya rumah sebesar ini cuma punya satu kamar mandi?” Respon kesal Ruby memuaskan Elgar.


Ruby mendapati Elgar yang tengah menonton film saat dirinya keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sudah nampak bersih dan segar menyapanya. 

Ruby melanjutkan aktivitasnya menggunakan rangkaian skincare. Elgar yang melihat Ruby kerepotan bolak-balik meja ke kaca berinisiatif memegangkan kotak skincare Ruby dan menarik kursi gamingnya untuk Ruby duduki. Elgar memang tidak memiliki meja rias di kamarnya, hanya terdapat meja komputer dan satu kaca berdiri di sebelahnya.

“Interior kamarku harus diganti ini. Suami cantikku nanti bakal kerepotan kalau mau rias diri,” tuturnya yang dibalas dehaman setuju dari Ruby. “Koa udah tidur sendiri belum sih, Kak? Aku perlu buat kamar Koa juga gak sih di sini?” tanyanya yang berkelana memikirkan bagian lain rumahnya.

“Koa punya kamar sendiri, tapi cuma dipakai bermain, as you know. Dia tidurnya selalu berdua sama aku,” balas Ruby setelah mengetapkan bibirnya yang baru diolesi lipbalm.

“Rumah ini memang perlu beberapa perubahan buat hadirnya suami dan anakku. Kamar ini juga perlu diperluas buat nambah closet untuk barang-barang Kakak yang sejumlah isi toko itu.” Ruby melirik Elgar sinis atas kalimat terakhirnya. “Kakak buat toko baru di rumah ini pun gapapa. Barang Kakak yang ada di rumah Kakak biar tetap di sana.”

Elgar menyuarakan banyak hal perihal bagian mana saja yang perlu dirinya ubah dan tambahkan. Dirinya tersadarkan atas kebutuhan itu karena Ruby menginap di rumahnya, jika tidak, mungkin akan terlambat untuk dirinya merencanakan perubahan interior rumahnya.

Saat Ruby mengambil pakaiannya dalam koper untuk berganti, dirinya melihat jam tangan untuk Elgar belum dirinya berikan. Pikirannya sudah tidak lagi tertuju pada kekesalan dirinya pada Tian, namun mengingat bagaimana mantan Elgar yang mengarahkannya memilih jam tangan untuk Elgar. 

“Ini jam tangan yang aku belikan kemarin, coba pakai.” Dirinya berikan kotak kecil itu pada Elgar. “Kan, navy suits on you. Mantanmu itu jelek banget seleranya,” ujarnya setelah jam tangan itu terpakai di pergelangan tangan Elgar.

“Aku jelek juga dong? Aku selera dia juga,” balas Elgar percaya diri.

“Kamu kan gak dipilih dan dia lebih pilih pasangannya yang sekarang, seleranya jelek.” Elgar mengangguk dengan senyuman penuh arti.

Jemari Ruby yang memuji jam tangan di tangan Elgar itu dialihkan perhatiannya oleh jemari Elgar yang menyelinap di buku-buku jari Ruby. Genggaman yang telah menyatu, langkah Elgar berlanjut menyatukan belah bibir keduanya. Dipagutnya bibir yang baru mengungkapkan kalimat penuh kecemburuan itu. 

Ruby yang mendapat afeksi spontan dari Elgar tak bisa menolaknya. Sebelah tangan Ruby yang memegang pakaian gantinya sampai tak kuasa, pakaiannya sudah jatuh di lantai. Tangannya beralih meremat kaus Elgar menunjukkan dirinya yang mulai terbawa permainan Elgar. Bibirnya tak lagi pasrah dipagut Elgar. Dirinya membalas pagutan itu dan menciptakan bunyi basah dari pergelutan bibir mereka.

Elgar terus menarik tubuh Ruby menghabiskan jarak antar keduanya yang sudah tak ada. Kala ciuman keduanya terlepas, mereka sadari betapa kacaunya ciuman keduanya. Kaus Elgar yang kusut atas cengkeraman Ruby dan bathrobe Ruby yang tak lagi rapi. Tangan Ruby yang hendak membenarkan bathrobenya itu ditahan oleh Elgar.

Tangan Ruby dibawa Elgar untuk mengalung pada lehernya. Sekali lagi, Elgar mempetemukan belah bibir mereka yang masih basah. Ciuman kedua ini membangkitan nafsu yang hendak mereka padamkan sebelumnya. Tangan Ruby bukan lagi mencengkeram Elgar, tangan itu turun menggerayahi dada bidang yang lebih muda.

Elgar menitah Ruby untuk berjalan mundur ke arah kasur. Ruby diarahkan Elgar untuk duduk dalam pangkuannya. Kaki Ruby melingkari tubuh Elgar. Peraduan yang semakin intens itu turut menghadirkan lenguhan indah di tengah suara basah yang dihadirkannya.

Just go on, Elgar,” tutur Ruby pada Elgar yang menghentikan aksinya saat dirinya menarik tali bathrobe Ruby. Elgar menyadari dirinya bertindak kejauhan menuruti nafsunya. “I let you to do it.

“Kak…” Elgar mengeratkan kalungan tangannya di pinggang Ruby saat si cantik di depannya memainkan jemarinya di balik kausnya.

“Kamu dulu sejauh ini juga dengan mantan kamu?” Elgar menggeleng. Dirinya tak seberani dan segila itu untuk bertindak semacam ini di masa remajanya. “Glad to know she doesn’t know this perfect chest,” pujinya yang sekaligus menggoda Elgar.

“Jangan menyesal godain aku kayak gini ya.” Ruby memberikan senyumannya dan sebuah kedipan sebelah mata. “Obiy nya Koa centil banget, ya. Nakal.”

Elgar dengan berani melepas kaitan bathrobe Ruby. Kala sorot mata Elgar masih memuji cantiknya tubuh Ruby, si cantik itu kembali meraup bibir yang lebih muda. Tangan Ruby pun bergerak menyingkap kaus Elgar. 

Keduanya menghabiskan sisa hari ini dengan memadu kasih. Elgar dan Ruby saling memamerkan cinta yang mereka miliki satu sama lain. Cinta yang beradu dengan nafsu antar keduanya membuat air yang telah membersihkan tubuh keduanya beberapa saat lalu seakan sia-sia.

/ ⚠️ : This narration contains mature content and explicit kiss scene. If you are underage, please be wise. You take your own risk.


Setelah panggilan berakhir, Elgar masih setia merengkuh Ruby. Dirinya justru mempererat rengkuhannya dan menyamankan dirinya yang bersandar di pundak Ruby. “Aku mau berendam, Elgar.” Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, membuat Ruby merasa geli atas rambut Elgar yang menggelitik lehernya.

“Kamu mandi sana, aku mau berendam,” ulang Ruby sembari melepaskan rengkuhan Elgar. Saat dirinya berjalan menuju kamar mandi, Elgar masih mengikutinya. “Kakak suruh aku mandi dan ini kamar mandiku.” Ruby dengan cepat menutup pintu kamar mandi, meninggalkan Elgar yang tersenyum puas menggodanya.

Elgar mengambil pakaian dan handuknya untuk dirinya bawa mandi di kamar mandi lainnya. Sebelum meninggalkan kamar, Elgar masih menyempatkan untuk menggoda Ruby di dalam kamar mandi. “Kak, aku gak dibukain pintunya?” Lelaki itu mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali. “Memangnya rumah sebesar ini cuma punya satu kamar mandi?” Respon kesal Ruby memuaskan Elgar.


Ruby mendapati Elgar yang tengah menonton film saat dirinya keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sudah nampak bersih dan segar menyapanya. 

Ruby melanjutkan aktivitasnya menggunakan rangkaian skincare. Elgar yang melihat Ruby kerepotan bolak-balik meja ke kaca berinisiatif memegangkan kotak skincare Ruby dan menarik kursi gamingnya untuk Ruby duduki. Elgar memang tidak memiliki meja rias di kamarnya, hanya terdapat meja komputer dan satu kaca berdiri di sebelahnya.

“Interior kamarku harus diganti ini. Suami cantikku nanti bakal kerepotan kalau mau rias diri,” tuturnya yang dibalas dehaman setuju dari Ruby. “Koa udah tidur sendiri belum sih, Kak? Aku perlu buat kamar Koa juga gak sih di sini?” tanyanya yang berkelana memikirkan bagian lain rumahnya.

“Koa punya kamar sendiri, tapi cuma dipakai bermain, as you know. Dia tidurnya selalu berdua sama aku,” balas Ruby setelah mengetapkan bibirnya yang baru diolesi lipbalm.

“Rumah ini memang perlu beberapa perubahan buat hadirnya suami dan anakku. Kamar ini juga perlu diperluan buat nambah closet untuk barang-barang Kakak yang sejumlah isi toko itu.” Ruby melirik Elgar sinis atas kalimat terakhirnya. “Kakak buat toko baru di rumah ini pun gapapa. Barang Kakak yang ada di rumah Kakak biar tetap di sana.”

Elgar menyuarakan banyak hal perihal bagian mana saja yang perlu dirinya ubah dan tambahkan. Dirinya tersadarkan atas kebutuhan itu karena Ruby menginap di rumahnya, jika tidak, mungkin akan terlambat untuk dirinya merencanakan perubahan interior rumahnya.

Saat Ruby mengambil pakaiannya dalam koper untuk berganti, dirinya melihat jam tangan untuk Elgar belum dirinya berikan. Pikirannya sudah tidak lagi tertuju pada kekesalan dirinya pada Tian, namun mengingat bagaimana mantan Elgar yang mengarahkannya memilih jam tangan untuk Elgar. 

“Ini jam tangan yang aku belikan kemarin, coba pakai.” Dirinya berikan kotak kecil itu pada Elgar. “Kan, navy suits on you. Mantanmu itu jelek banget selera,” ujarnya setelah jam tangan itu terpakai di pergelangan tangan Elgar.

“Aku jelek juga dong? Aku selera dia juga,” balas Elgar percaya diri.

“Kamu kan gak dipilih dan dia lebih pilih pasangannya yang sekarang, seleranya jelek.” Elgar mengangguk dengan senyuman penuh arti.

Jemari Ruby yang memuji jam tangan di tangan Elgar itu dialihkan perhatiannya oleh jemari Elgar yang menyelinap di buku-buku jari Ruby. Genggaman yang telah menyatu, langkah Elgar berlanjut menyatukan belah bibir keduanya. Dipagutnya bibir yang baru mengungkapkan kalimat penuh kecemburuan itu. 

Ruby yang mendapat afeksi spontan dari Elgar tak bisa menolaknya. Sebelah tangan Ruby yang memegang pakaian gantinya sampai tak kuasa, pakaiannya sudah jatuh di lantai. Tangannya beralih meremat kaus Elgar menunjukkan dirinya yang mulai terbawa permainan Elgar. Bibirnya tak lagi pasrah dipagut Elgar. Dirinya membalas pagutan itu dan menciptakan bunyi basah dari pergelutan bibir mereka.

Elgar terus menarik tubuh Ruby menghabiskan jarak antar keduanya yang sudah tak ada. Kala ciuman keduanya terlepas, mereka sadari betapa kacaunya ciuman keduanya. Kaus Elgar yang kusut atas cengkeraman Ruby dan bathrobe Ruby yang tak lagi rapi. Tangan Ruby yang hendak membenarkan bathrobenya itu ditahan oleh Elgar.

Tangan Ruby dibawa Elgar untuk mengalung pada lehernya. Sekali lagi, Elgar mempetemukan belah bibir mereka yang masih basah. Ciuman kedua ini membangkitan nafsu yang hendak mereka padamkan sebelumnya. Tangan Ruby bukan lagi mencengkeram Elgar, tangan itu turun menggerayahi dada bidang yang lebih muda.

Elgar menitah Ruby untuk berjalan mundur ke arah kasur. Ruby diarahkan Elgar untuk duduk dalam pangkuannya. Kaki Ruby melingkari tubuh Elgar. Peraduan yang semakin intens itu turut menghadirkan lenguhan indah di tengah suara basah yang dihadirkannya.

Just go on, Elgar,” tutur Ruby pada Elgar yang menghentikan aksinya saat dirinya menarik tali bathrobe Ruby. Elgar menyadari dirinya bertindak kejauhan menuruti nafsunya. “I let you to do it.

“Kak…” Elgar mengeratkan kalungan tangannya di pinggang Ruby saat si cantik di depannya memainkan jemarinya di balik kausnya.

“Kamu dulu sejauh ini juga dengan mantan kamu?” Elgar menggeleng. Dirinya tak seberani dan segila itu untuk bertindak semacam ini di masa remajanya. “Glad to know she doesn’t know this perfect chest,” pujinya yang sekaligus menggoda Elgar.

“Jangan menyesal godain aku kayak gini ya.” Ruby memberikan senyumannya dan sebuah kedipan sebelah mata. “Obiy nya Koa centil banget, ya. Nakal.”

Elgar dengan berani melepas kaitan bathrobe Ruby. Kala sorot mata Elgar masih memuji cantiknya tubuh Ruby, si cantik itu kembali meraup bibir yang lebih muda. Tangan Ruby pun bergerak menyingkap kaus Elgar. 

Keduanya menghabiskan sisa hari ini dengan memadu kasih. Elgar dan Ruby saling memamerkan cinta yang mereka miliki satu sama lain. Cinta yang beradu dengan nafsu antar keduanya membuat air yang telah membersihkan tubuh keduanya beberapa saat lalu seakan sia-sia.

| ⚠️ : This narration contains mature content and explicit kiss scene. If you are underage, please be wise. You take your own risk.


Setelah panggilan berakhir, Elgar masih setia merengkuh Ruby. Dirinya justru mempererat rengkuhannya dan menyamankan dirinya yang bersandar di pundak Ruby. “Aku mau berendam, Elgar.” Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, membuat Ruby merasa geli atas rambut Elgar yang menggelitik lehernya.

“Kamu mandi sana, aku mau berendam,” ulang Ruby sembari melepaskan rengkuhan Elgar. Saat dirinya berjalan menuju kamar mandi, Elgar masih mengikutinya. “Kakak suruh aku mandi dan ini kamar mandiku.” Ruby dengan cepat menutup pintu kamar mandi, meninggalkan Elgar yang tersenyum puas menggodanya.

Elgar mengambil pakaian dan handuknya untuk dirinya bawa mandi di kamar mandi lainnya. Sebelum meninggalkan kamar, Elgar masih menyempatkan untuk menggoda Ruby di dalam kamar mandi. “Kak, aku gak dibukain pintunya?” Lelaki itu mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali. “Memangnya rumah sebesar ini cuma punya satu kamar mandi?” Respon kesal Ruby memuaskan Elgar.


Ruby mendapati Elgar yang tengah menonton film saat dirinya keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sudah nampak bersih dan segar menyapanya. 

Ruby melanjutkan aktivitasnya menggunakan rangkaian skincare. Elgar yang melihat Ruby kerepotan bolak-balik meja ke kaca berinisiatif memegangkan kotak skincare Ruby dan menarik kursi gamingnya untuk Ruby duduki. Elgar memang tidak memiliki meja rias di kamarnya, hanya terdapat meja komputer dan satu kaca berdiri di sebelahnya.

“Interior kamarku harus diganti ini. Suami cantikku nanti bakal kerepotan kalau mau rias diri,” tuturnya yang dibalas dehaman setuju dari Ruby. “Koa udah tidur sendiri belum sih, Kak? Aku perlu buat kamar Koa juga gak sih di sini?” tanyanya yang berkelana memikirkan bagian lain rumahnya.

“Koa punya kamar sendiri, tapi cuma dipakai bermain, as you know. Dia tidurnya selalu berdua sama aku,” balas Ruby setelah mengetapkan bibirnya yang baru diolesi lipbalm.

“Rumah ini memang perlu beberapa perubahan buat hadirnya suami dan anakku. Kamar ini juga perlu diperluan buat nambah closet untuk barang-barang Kakak yang sejumlah isi toko itu.” Ruby melirik Elgar sinis atas kalimat terakhirnya. “Kakak buat toko baru di rumah ini pun gapapa. Barang Kakak yang ada di rumah Kakak biar tetap di sana.”

Elgar menyuarakan banyak hal perihal bagian mana saja yang perlu dirinya ubah dan tambahkan. Dirinya tersadarkan atas kebutuhan itu karena Ruby menginap di rumahnya, jika tidak, mungkin akan terlambat untuk dirinya merencanakan perubahan interior rumahnya.

Saat Ruby mengambil pakaiannya dalam koper untuk berganti, dirinya melihat jam tangan untuk Elgar belum dirinya berikan. Pikirannya sudah tidak lagi tertuju pada kekesalan dirinya pada Tian, namun mengingat bagaimana mantan Elgar yang mengarahkannya memilih jam tangan untuk Elgar. 

“Ini jam tangan yang aku belikan kemarin, coba pakai.” Dirinya berikan kotak kecil itu pada Elgar. “Kan, navy suits on you. Mantanmu itu jelek banget selera,” ujarnya setelah jam tangan itu terpakai di pergelangan tangan Elgar.

“Aku jelek juga dong? Aku selera dia juga,” balas Elgar percaya diri.

“Kamu kan gak dipilih dan dia lebih pilih pasangannya yang sekarang, seleranya jelek.” Elgar mengangguk dengan senyuman penuh arti.

Jemari Ruby yang memuji jam tangan di tangan Elgar itu dialihkan perhatiannya oleh jemari Elgar yang menyelinap di buku-buku jari Ruby. Genggaman yang telah menyatu, langkah Elgar berlanjut menyatukan belah bibir keduanya. Dipagutnya bibir yang baru mengungkapkan kalimat penuh kecemburuan itu. 

Ruby yang mendapat afeksi spontan dari Elgar tak bisa menolaknya. Sebelah tangan Ruby yang memegang pakaian gantinya sampai tak kuasa, pakaiannya sudah jatuh di lantai. Tangannya beralih meremat kaus Elgar menunjukkan dirinya yang mulai terbawa permainan Elgar. Bibirnya tak lagi pasrah dipagut Elgar. Dirinya membalas pagutan itu dan menciptakan bunyi basah dari pergelutan bibir mereka.

Elgar terus menarik tubuh Ruby menghabiskan jarak antar keduanya yang sudah tak ada. Kala ciuman keduanya terlepas, mereka sadari betapa kacaunya ciuman keduanya. Kaus Elgar yang kusut atas cengkeraman Ruby dan bathrobe Ruby yang tak lagi rapi. Tangan Ruby yang hendak membenarkan bathrobenya itu ditahan oleh Elgar.

Tangan Ruby dibawa Elgar untuk mengalung pada lehernya. Sekali lagi, Elgar mempetemukan belah bibir mereka yang masih basah. Ciuman kedua ini membangkitan nafsu yang hendak mereka padamkan sebelumnya. Tangan Ruby bukan lagi mencengkeram Elgar, tangan itu turun menggerayahi dada bidang yang lebih muda.

Elgar menitah Ruby untuk berjalan mundur ke arah kasur. Ruby diarahkan Elgar untuk duduk dalam pangkuannya. Kaki Ruby melingkari tubuh Elgar. Peraduan yang semakin intens itu turut menghadirkan lenguhan indah di tengah suara basah yang dihadirkannya.

Just go on, Elgar,” tutur Ruby pada Elgar yang menghentikan aksinya saat dirinya menarik tali bathrobe Ruby. Elgar menyadari dirinya bertindak kejauhan menuruti nafsunya. “I let you to do it.

“Kak…” Elgar mengeratkan kalungan tangannya di pinggang Ruby saat si cantik di depannya memainkan jemarinya di balik kausnya.

“Kamu dulu sejauh ini juga dengan mantan kamu?” Elgar menggeleng. Dirinya tak seberani dan segila itu untuk bertindak semacam ini di masa remajanya. “Glad to know she doesn’t know this perfect chest,” pujinya yang sekaligus menggoda Elgar.

“Jangan menyesal godain aku kayak gini ya.” Ruby memberikan senyumannya dan sebuah kedipan sebelah mata. “Obiy nya Koa centil banget, ya. Nakal.”

Elgar dengan berani melepas kaitan bathrobe Ruby. Kala sorot mata Elgar masih memuji cantiknya tubuh Ruby, si cantik itu kembali meraup bibir yang lebih muda. Tangan Ruby pun bergerak menyingkap kaus Elgar. 

Keduanya menghabiskan sisa hari ini dengan memadu kasih. Elgar dan Ruby saling memamerkan cinta yang mereka miliki satu sama lain. Cinta yang beradu dengan nafsu antar keduanya membuat air yang telah membersihkan tubuh keduanya beberapa saat lalu seakan sia-sia.

Ruby dan Elgar menyegerakan pergi untuk fitting tuxedo saat Koa terlelap dalam tidur siangnya. Keduanya datang lebih awal dari yang dijadwalkan, sehingga perlu menunggu setelan mereka disiapkan. Hanya sekedar fitting setelan untuk pertunangan mereka, namun keduanya merasa berdebar.

Keduanya sungguh dibuat kagum dengan dua orangtua mereka. Dalam waktu yang singkat mereka bukan hanya menyiapkan setelan untuk pertunangan keduanya, namun juga untuk pernikahan keduanya mendatang. Untuk pernikahan masih berupa rancangan yang memiliki beberapa pilihan.

“Kak, buat wedding nya next time aja, ya. Kita belum tahu gimana konsepnya dan itu masih jauh,” saran Elgar.

“Loh kata Papi kamu dalam waktu dekat loh, that is why desainnya udah ada,” sahut sang desainer yang merupakan kenalan Tian.

Yang bersangkutan belum terpikirkan, tetapi langkah Tian Sadjiwo sudah sejauh itu. Elgar dan Ruby hanya bisa menghela napas mendengar penuturan itu. Entah kejutan seperti apa lagi yang akan diberikan oleh kedua orang tua mereka.

I will contact you later buat wedding nya, Ci. Hari ini kita ke sini buat fitting yang engagement aja,” tawar Ruby.

Okay, that is fine. Aku happy banget waktu Kak Tian ke sini dan bilang kalau yang jadi pasangan Elgar itu kamu. You got a better man.” Wanita itu mengucap kalimat terakhirnya dengan berbisik pada Ruby.

Thank you.


Sedari keluar dari butik tersebut, Elgar nampak serius. Selama proses fitting juga Elgar banyak melamun. Ruby mencoba mengingat yang mereka lakukan separuh hari ini barangkali dirinya melakukan kesalahan pada Elgar yang tak dirinya sadari.

Is there something bothering you? Kamu banyak diam dari tadi.” Ruby segera mengajukan pertanyaannya sebelum Elgar melajukan mobilnya.

It happened so suddenly. Antara lagi mimpi dan nyata.” Ruby justru terkekeh setelah mendengar jawaban Elgar. “Kak.. Before our engagement, please let me know your feeling. Do you love me?

Keduanya menjadi bertatap serius setelah pertanyaan itu muncul. Elgar sangat berharap bahwa Ruby akan menjawab itu. Dirinya perlu tahu apakah hubungan yang dijalin oleh keduanya berdasar atas perasaan yang sama atau sekedar menuruti permintaan Tian.

I do love you.

Elgar tak berkutik dari posisinya, matanya masih tak berkedip dengan pandangan yang menyorot Ruby. Oh, degupan jantung Elgar telah berpacu lebih cepat dari beberapa saat lalu.

“Kakak serius?”

Ruby melepaskan seatbelt dan mendekat ke arah Elgar. Kedua bola mata Elgar membulat saat Ruby mempertemukan kedua belah bibir mereka. Elgar yang tak memberikan respon membuat Ruby memundurkan dirinya, namun dengan cekatan Elgar menahannya. Kedua belah bibir mereka kembali bertemu. Sejenak, mobil Elgar dipenuhi oleh suara basah dari ciuman keduanya.

“Kak, aku gak bisa nyetir deh ini,” tutur Elgar selepas ciuman keduanya. “Jiwa aku belum sepenuhnya balik sehabis Kakak cium.”

Ruby tak memberi tanggapan atas banyaknya celotehan Elgar. Dirinya juga sama halnya dengan Elgar, mengumpulkan kewarasannya kembali setelah menuruti pikiran gilanya untuk mencium Elgar. Batinnya berulang kali menyalahkan Yeager yang hendak meneriaki dirinya dan Elgar untuk berciuman di pertunangan mereka. Ucapan Yeager itu memang membuatnya kepikiran semalaman.

“Kak, coba tampar pipiku. Aku mau memastikan yang cium aku tadi itu Kakak atau bukan.” Elgar yang meraih tangan Ruby itu alih-alih mendapat tamparan justru mendapatkan kecupan manis dari Ruby. “Kak…”

Go take a drive. Look, Agista already called me!” Ruby menunjukkan gawainya yang tengah berdering.

“Kak, pegang tanganku.” “Please drive safely, Elgar.

Senyuman Elgar merekah saat dirinya rasakan jemari Ruby membelah buku-buku jarinya. Dirinya bubuhkan kecupan pada punggung tangan Ruby setelah tangan keduanya menyatu.

Si kembar berlari ke arah Elazar setelah berdiam di ambang pintu mencerna kehadiran Elazar. Dengan senang hati Elazar menerima kedua anak itu dalam dekapannya. Si kembar benar-benar nyata untuknya sekarang.

“Ruelle, aku taruh mana barang-barangnya twins?—Oh halo, Elazar?” Suami Ogie, Marhen menyapa pria yang akhir-akhir ini sering dirinya dengar tengah diumpati oleh suaminya. “Saya Marhen, suami temannya Ruelle,” terangnya memperkenalkan diri.

“Taruh disitu aja, Ko. Makasih ya udah mau direpotin nganter twins pulang.” Marhen menggelengkan kepalanya. “Loh Rocky ikut juga?” Marhen menoleh pada putra bungsunya yang baru masuk membawa tablet si kembar yang tertinggal di mobil.

“Sini Nyo salim sek sama Ayahnya Ai sama Io.” Rocky menjabat tangan pria yang sering dirinya lihat fotonya di grup obrolan itu sekaligus memperkenalkan dirinya.

You look better in person eventho Yayah said you really minus 1000 auras.” Cielo yang paham dengan kalimat Rocky tak bisa menahan tawanya.

“Heh Nyo gak boleh ngono iku, say sorry!—Maafin Sinyo ya.” Marhen tak habis pikir bungsunya akan berucap seperti itu.

“Gapapa, Ko,” balas Elazar yang tak sepenuhnya mengerti maksud kalimat Rocky.


Suasana ruang tamu rumah Ruelle menjadi canggung selepas kepulangan Marhen dan Rocky. Bertemu dengan Elazar adalah hal yang si kembar dambakan. Walaupun sering berbincang melalui panggilan video, keduanya bingung saat dihadapkan langsung.

“Dede suka tidak Ayah datang ke sini?” tanya Elazar pada si kembar yang nampak diam.

“Io suka kok, Ayah.” “Ayah akan di sini sama kita?”

“Kalau Dede bolehkan, Ayah akan di sini beberapa hari kedepan.” Si kembar dengan semangat menganggukkan kepala.

“Selama-lamanya juga boleh. Io senang sekali, Ayah,” ucap Acacio yang disetujui oleh Alicio.

“Mana bisa gitu. Ayah bukan pasangan Papaps, gak bisa living together for a long time apalagi selamanya,” sahut Cielo.

Cielo tidak bisa menahan diri untuk tidak menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Lagipula tujuan dirinya dan Elazar ikut Ruelle kembali ke Surabaya adalah untuk memperjelas situasi dengan si kembar, tidak salah jika dirinya memulai pembahasannya dahulu.

“Kakak Iel benar, Ayah tidak bisa lama di sini. Lain waktu Ayah bisa ke sini lagi ataupun Dede yang main ke tempat Ayah dan Kakak Iel,” terang Elazar.

Raut sedih muncul dari si kembar. Mereka mengerti bahwa orangtua mereka telah berpisah, namun tetap saja sedih melihat fakta bahwa mereka tidak bisa berkumpul bersama dalam waktu yang lama layaknya keluarga teman-temannya. Yang paling membuat si kembar sedih adalah mereka belum pernah merasakan utuhnya orangtua mereka, hanya Cielo yang pernah merasakannya.

“Tidak bisa ya Ayah dan Papaps sama-sama lagi?” Pertanyaan ini kembali muncul untuk Elazar dan Ruelle.

“Ayah minta maaf sekali sudah buat Dede dan Kakak Iel ada di kondisi seperti ini, tapi untuk Ayah dan Papa kembali menjadi pasangan itu tidak bisa semudah itu, situasinya sulit.” Si kembar nampang bingung mencerna tiap kata yang keluar dari mulut Elazar.

“Ayah dan Papa berpisah karena kesalahan Ayah. Dulu Ayah terlalu mementingkan perusahaan Ayah sampai lupa kalau ada Papa dan Kakak Iel yang juga butuh adanya Ayah di rumah. Parahnya Ayah saat itu lebih sering mendengarkan orang lain daripada Papa, pasangan Ayah sendiri. Papa mengalami banyak hal berat karena Ayah. Karena itu, sulit untuk Papa kembali bersama Ayah. Ayah banyak buat luka untuk Papa sampai membuat Dede dan Kakak Iel ada di kondisi seperti ini.” Elazar menjelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dicerna oleh si kembar.

“Ayah tahu Dede pasti marah dengan Ayah yang sudah keterlaluan. Akan tetapi, Ayah di sini, dihadapan Papa, Kakak Iel, dan Dede, Ayah sangat menyesali perbuatan Ayah itu. Ayah tidak bisa merubah masa lalu, maka di sini Ayah mau membuat masa depan untuk kita jadi jauh lebih baik. Ayah di sini berjanji bahwa Ayah akan selalu ada menjadi Ayah untuk Dede dan Kakak Iel,” tambah Elazar.

Setelah mendengar penuturan panjang Elazar, tentu ada perasaan yang berubah dari si kembar. Mengetahui fakta sang Ayah yang mendasari perpisahan orangtuanya yang bahkan tak didebat oleh Ruelle pernyataannya membuat mereka yakin bahwa memang itulah adanya.

“Ayah sungguh menyesal?” Elazar mengangguk menanggapi Acacio. “Io kecewa dengan Ayah, tapi Io juga tidak mau kehilangan Ayah. Io suka punya Ayah dan Papaps. Walaupun tidak bisa seperti orangtua teman-teman, setidaknya Io punya orangtua yang lengkap,” terangnya mengutarakan perasaannya.

“Ai juga sama seperti Io. Ayah mengecewakan, tapi Ai mau Ayah tetap ada untuk Ai. Rasanya menyenangkan diperhatikan Ayah dan Papaps bahkan Ai juga punya Kakak Iel,” timpal Alicio. “Ayah mau berjanji tidak mengecewakan lagi?” Alicio mengangkat kelingkingnya.

“Ayah janji. Dede dan Kakak Iel bisa marah pada Ayah kalau Ayah mengecewakan lagi.” Elazar mengangkat kelingkingnya sebagai bentuk janji.

Ruelle hanya diam membiarkan Elazar memberi penjelasan pada si kembar. Energinya sudah habis untuk membujuk Cielo dalam beberapa hari lalu. Lagipula memang begini bukan cara kerja orangtua dengan saling membahu untuk mengurus anak-anaknya?

Di tengah persiapan makan malam, Cielo kembali menawarkan kepada Acacio dan Alicio untuk berbincang dengan Elazar melalui panggilan video. Cielo berani menawarkan hal tersebut karena adanya persetujuan Ruelle dan si kembar yang mengenali Elazar. Dirinya bersyukur bahwa Ruelle tetap mengenalkan Elazar sebagai ayah mereka dan dirinya sebagai sang kakak. 

Papaps is okay if we have a video call with Ayah. Don’t you want to let Ayah knows what you have done today? Ayah in his break time right now,” tawar Cielo.

Ayah is fine to talk with us, Kakak Iel? We never meet Ayah even just say hi on call,” ragu Acacio diikuti anggukan Alicio yang memiliki keraguan yang sama.

Of course. Ayah wants to know you, twins. You can have a call if you want to. Papaps is sorry for taking you away from Ayah. Let Ayah get to know you well,” sahut Ruelle dari kitchen bar.

Jelas terbesit rasa bersalah dalam diri Ruelle karena tidak mempertemukan mereka lebih awal. Akan tetapi yang dilakukannya bukanlah semata-mata untuk memenuhi egonya, keputusan yang diambilnya melalui banyak pertimbangan. Ruelle sangat berterima kasih terhadap Cielo karena tanpa ketukan pesan singkatnya, entah berapa tahun lagi Ruelle bisa meyakinkan dirinya untuk melangkah menggapai tangan putra sulungnya bahkan mempertemukannya dengan si kembar.

We will never leave you, Papaps,” balas Alicio.

Just have a call with Ayah!” sahut Ruelle sebelum berlalu kembali sibuk dengan agenda memasaknya.

Cielo tidak kuasa menahan tawanya melihat Acacio dan Alicio yang memeluk erat lengannya di kanan dan kiri. Ketika wajah Elazar muncul di layar, kedua anak itu spontan bersamaan menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Cielo.

Ayah is fine to see us, Kakak Iel?” “Ayah not mad?

Marah? Sejauh apa yang mereka pikirkan sampai Elazar akan marah hanya karena panggilan video ini. Cielo sudah dibuat tertawa melihat tingkah si kembar dan kini di tambah sang Ayah yang nampak membeku di seberang sana. Memang jahilnya Cielo tidak memberi tahu terlebih dahulu bahwa akan menelponnya bersama si kembar.

“Kamu jangan iseng, Cielo,” tutur Elazar yang panik melihat si kembar yang nampak takut hingga bersembunyi dibalik badan Cielo. “Ayah matikan ini ya, Cielo.”

“Ayah gak mau ngobrol sama mereka? Papaps bolehin kok,” tahan Cielo melihat Elazar yang menutup videonya. “Nyalain kameranya gapapa, Ayah.”

“Ai dan Io mau bicara dengan Ayah? Ayah tidak akan matikan video call-nya kalau kalian bersedia,” tanya Elazar memastikan. Dirinya tak mau anak-anaknya justru takut padanya walaupun dirinya sangat ingin berbincang.

Perlahan Acacio dan Alicio muncul dari balik badan Cielo. Keduanya menyapa Elazar dengan senyuman canggung. Matanya tak berkedip menatap Elazar di sana. Mereka memperhatikan perbedaan muka sang Ayah yang sebelumnya hanya mereka tahu melalui foto-foto lama yang disimpan oleh Ruelle.

“Halo, Ai dan Io. Kabar kalian bagaimana? Maaf ya Ayah baru menyapa kalian dari sini,” sapa Elazar yang bingung mengeluarkan kalimat seperti apa untuk berbincang dengan si kembar. 

We are good, Ayah. We can understand it, kita bukan anak nakal,” balas Alicio.

“Iya, Ayah. We knows kok kalau divorced-parents itu tidak mudah bertemu lagi, even we as your childern want to. Tapi sedih sekali harus menunggu lama. I miss you so so so so much, Ayah…” timpal Acacio.

Ruelle sungguh berusaha sebaik mungkin selama ini untuk menjelaskan kondisi dirinya dan Elazar kepada si kembar. Dirinya tak ingin kata ‘perpisahan’ yang selalu diingat oleh si kembar atas orangtuanya. Oleh karena itu, dirinya mengimbangi dengan berbagi kisah indah dirinya dan Elazar pada mereka. Semua itu jelas sulit, terlebih menjelaskan bahwa hadirnya mereka karena cinta kedua orangtuanya. Keduanya sering menampik hal itu setelah beranjak remaja dan mengetahui fakta perpisahan orangtua mereka adalah saat keduanya masih sebesar biji di dalam perut sang Papa.

Ayah don’t say sorry to us. Io and I should apologize to you. We made you divorced and Kakak Iel lose his parents. Kalau tidak ada aku dan Io, it wouldn’t have happened.

Kaki Ruelle lemas mendengar ucapan itu. Dirinya duduk memeluk kakinya bersembunyi dibalik kitchen bar, tak kuasa melangkah menghampiri ketiga anaknya. Sama hal nya dengan Elazar, pria itu nampak sejenak mematung mendengarnya. Tangannya mengisyaratkan elakan atas pernyataan si kembar. Dirinya sunggung tak mengira bahwa pemikiran si kembar sampai ke sana.

“Dede… itu bukan salah kalian. Ayah seharusnya bisa lebih baik menjaga kalian, Ayah minta maaf untuk Dede dan Kakak Iel. Maaf Ayah dan Papa memilih untuk berpisah. Itu adalah kesalahan fatal Ayah yang tidak bijak menjadi kepala keluarga. Ayah minta maaf ya…” Rasanya sungguh menyakitkan mengatakan hal seperti ini terhadap anak-anaknya. “Dede… Boleh Ayah minta kesempatan untuk dekat dengan Dede? Menjadi Ayah yang selalu ada untuk Dede, boleh?” lanjutnya meminta.

Elazar sangat mengharapkan kesempatan dari si kembar, anak yang baru dirinya ketahui saat mereka mulai menginjak masa remajanya. Marah pada Ruelle pun tak mampu karena dirinya tahu alasan Ruelle menutupinya. Ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki pun tak bisa, yang bisa dirinya lakukan adalah menghadapi buah dari perbuatan lamanya. Dirinya sudah gagal menjadi suami untuk Ruelle dan tak mau gagal juga menjadi Ayah untuk anak-anaknya.

“Dede itu siapa?” “Aku dan Io?”

Tawa Cielo pecah mendengar pertanyaan si kembar yang alih-alih menanggapi permintaan sang Ayah. Ruelle yang menangis di balik kitchen bar pun ikut terkekeh mendengarnya, sedangkan Elazar menunjukkan raut kikuk.

“Iya, maksud Ayah itu panggil Adek. Tidak suka ya dipanggil Dede?” Elazar menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

No… Ayah, we justㅡuhmm sedikit bingung tadi Ayah memanggil siapa. Io suka kok Ayah, itu… Okay,” balas Acacio yang kemudian menoleh pada Alicio seolah meminta bantuan untuk menjelaskan. “Aku dan Io suka kok Ayah, panggil kita Dede is okay,” timpal Alicio.

“Terima kasih, ya, Dede.” Elazar mengulas senyumnya. “Lalu permintaan Ayah tadiㅡ”

“BOLEH AYAH!!” sahut keduanya serentak. Elazar sungguh tak dapat menahan senyumannya. 

“Kamu harusnya jawab pertanyaan Ayah dulu!” Alicio menyikut Acacio disampingnya. “Hish! Kamu juga ikut-ikut!”

“Jangan bertengkar ya, Dede,” peringat Elazar di seberang.

“Ayah janji selalu jadi Ayah kita, ya! Ayahnya aku, Ai, dan Kakak Iel.” Cielo ditarik Acacio untuk muncul di kamera. “Tuh janji, Yah!” timpal Cielo yang ikut bergabung.

“Ayah janji.” Elazar mengangkat jari kelingkingnya sebagai bentuk janji.

“Janji juga bersama Papa?”

Mati. Pertanyaan mematikan itu terucap lantang untuk Elazar. Pria itu hanya bisa menunjukkan senyumannya tanpa sepatah kata pun.

Di tengah persiapan makan malam, Cielo kembali menawarkan kepada Acacio dan Alicio untuk berbincang dengan Elazar melalui panggilan video. Cielo berani menawarkan hal tersebut karena adanya persetujuan Ruelle dan si kembar yang mengenali Elazar. Dirinya bersyukur bahwa Ruelle tetap mengenalkan Elazar sebagai ayah mereka dan dirinya sebagai sang kakak. 

Papaps is okay if we have a video call with Ayah. Don’t you want to let Ayah knows what you have done today? Ayah in his break time right now,” tawar Cielo.

Ayah is fine to talk with us, Kakak Iel? We never meet Ayah even just say hi on call,” ragu Acacio diikuti anggukan Alicio yang memiliki keraguan yang sama.

Of course. Ayah wants to know you, twins. You can have a call if you want to. Papaps is sorry for taking you away from Ayah. Let Ayah get to know you well,” sahut Ruelle dari kitchen bar.

Jelas terbesit rasa bersalah dalam diri Ruelle karena tidak mempertemukan mereka lebih awal. Akan tetapi yang dilakukannya bukanlah semata-mata untuk memenuhi egonya, keputusan yang diambilnya melalui banyak pertimbangan. Ruelle sangat berterima kasih terhadap Cielo karena tanpa ketukan pesan singkatnya, entah berapa tahun lagi Ruelle bisa meyakinkan dirinya untuk melangkah menggapai tangan putra sulungnya bahkan mempertemukannya dengan si kembar.

We will never leave you, Papaps,” balas Alicio.

Just have a call with Ayah!” sahut Ruelle sebelum berlalu kembali sibuk dengan agenda memasaknya.

Cielo tidak kuasa menahan tawanya melihat Acacio dan Alicio yang memeluk erat lengannya di kanan dan kiri. Ketika wajah Elazar muncul di layar, kedua anak itu spontan bersamaan menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Cielo.

Ayah is fine to see us, Kakak Iel?” “Ayah not mad?

Marah? Sejauh apa yang mereka pikirkan sampai Elazar akan marah hanya karena panggilan video ini. Cielo sudah dibuat tertawa melihat tingkah si kembar dan kini di tambah sang Ayah yang nampak membeku di seberang sana. Memang jahilnya Cielo tidak memberi tahu terlebih dahulu bahwa akan menelponnya bersama si kembar.

“Kamu jangan iseng, Cielo,” tutur Elazar yang panik melihat si kembar yang nampak takut hingga bersembunyi dibalik badan Cielo. “Ayah matikan ini ya, Cielo.”

“Ayah gak mau ngobrol sama mereka? Papaps bolehin kok,” tahan Cielo melihat Elazar yang menutup videonya. “Nyalain kameranya gapapa, Ayah.”

“Ai dan Io mau bicara dengan Ayah? Ayah tidak akan matikan video call-nya kalau kalian bersedia,” tanya Elazar memastikan. Dirinya tak mau anak-anaknya justru takut padanya walaupun dirinya sangat ingin berbincang.

Perlahan Acacio dan Alicio muncul dari balik badan Cielo. Keduanya menyapa Elazar dengan senyuman canggung. Matanya tak berkedip menatap Elazar di sana. Mereka memperhatikan perbedaan muka sang Ayah yang sebelumnya hanya mereka tahu melalui foto-foto lama yang disimpan oleh Ruelle.

“Halo, Ai dan Io. Kabar kalian bagaimana? Maaf ya Ayah baru menyapa kalian dari sini,” sapa Elazar yang bingung mengeluarkan kalimat seperti apa untuk berbincang dengan si kembar. 

We are good, Ayah. We can understand it, kita bukan anak nakal,” balas Alicio.

“Iya, Ayah. We knows kok kalau divorced-parents itu tidak mudah bertemu lagi, even we as your childern want to. Tapi sedih sekali harus menunggu lama. I miss you so so so so much, Ayah…” timpal Acacio.

Ruelle sungguh berusaha sebaik mungkin selama ini untuk menjelaskan kondisi dirinya dan Elazar kepada si kembar. Dirinya tak ingin kata ‘perpisahan’ yang selalu diingat oleh si kembar atas orangtuanya. Oleh karena itu, dirinya mengimbangi dengan berbagi kisah indah dirinya dan Elazar pada mereka. Semua itu jelas sulit, terlebih menjelaskan bahwa hadirnya mereka karena cinta kedua orangtuanya. Keduanya sering menampik hal itu setelah beranjak remaja dan mengetahui fakta perpisahan orangtua mereka adalah saat keduanya masih sebesar biji di dalam perut sang Papa.

Ayah don’t say sorry to us. Io and I should apologize to you. We made you divorced and Kakak Iel lose his parents. Kalau tidak ada aku dan Io, it wouldn’t have happened.

Kaki Ruelle lemas mendengar ucapan itu. Dirinya duduk memeluk kakinya bersembunyi dibalik kitchen bar, tak kuasa melangkah menghampiri ketiga anaknya. Sama hal nya dengan Elazar, pria itu nampak sejenak mematung mendengarnya. Tangannya mengisyaratkan elakan atas pernyataan si kembar. Dirinya sunggung tak mengira bahwa pemikiran si kembar sampai ke sana.

“Dede… itu bukan salah kalian. Ayah seharusnya bisa lebih baik menjaga kalian, Ayah minta maaf untuk Dede dan Kakak Iel. Maaf Ayah dan Papa memilih untuk berpisah. Itu adalah kesalahan fatal Ayah yang tidak bijak menjadi kepala keluarga. Ayah minta maaf ya…” Rasanya sungguh menyakitkan mengatakan hal seperti ini terhadap anak-anaknya. “Dede… Boleh Ayah minta kesempatan untuk dekat dengan Dede? Menjadi Ayah yang selalu ada untuk Dede, boleh?” lanjutnya meminta.

Elazar sangat mengharapkan kesempatan dari si kembar, anak yang baru dirinya ketahui saat mereka mulai menginjak masa remajanya. Marah pada Ruelle pun tak mampu karena dirinya tahu alasan Ruelle menutupinya. Ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki pun tak bisa, yang bisa dirinya lakukan adalah menghadapi buah dari perbuatan lamanya. Dirinya sudah gagal menjadi suami untuk Ruelle dan tak mau gagal juga menjadi Ayah untuk anak-anaknya.

“Dede itu siapa?” “Aku dan Io?”

Tawa Cielo pecah mendengar pertanyaan si kembar yang alih-alih menanggapi permintaan sang Ayah. Ruelle yang menangis di balik kitchen bar pun ikut terkekeh mendengarnya, sedangkan Elazar menunjukkan raut kikuk.

“Iya, maksud Ayah itu panggil Adek. Tidak suka ya dipanggil Dede?” Elazar menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

No… Ayah, we justㅡuhmm sedikit bingung tadi Ayah memanggil siapa. Io suka kok Ayah, itu… Okay,” balas Acacio yang kemudian menoleh pada Alicio seolah meminta bantuan untuk menjelaskan. “Aku dan Io suka kok Ayah, panggil kita Dede is okay,” timpal Alicio.

“Terima kasih, ya, Dede.” Elazar mengulas senyumnya. “Lalu permintaan Ayah tadiㅡ”

“BOLEH AYAH!!” sahut keduanya serentak. Elazar sungguh tak dapat menahan senyumannya. 

“Kamu harusnya jawab pertanyaan Ayah dulu!” Alicio menyikut Acacio disampingnya. “Hish! Kamu juga ikut-ikut!”

“Jangan bertengkar ya, Dede,” peringat Elazar di seberang.

“Ayah janji selalu jadi Ayah kita, ya! Ayahnya aku, Ai, dan Kakak Iel.” Cielo ditarik Acacio untuk muncul di kamera. “Tuh janji, Yah!” timpal Cielo yang ikut bergabung.

“Ayah janji.” Elazar mengangkat jari kelingkingnya sebagai bentuk janji.

“Janji juga bersama Papa?”

Mati. Pertanyaan mematikan itu terucap lantang untuk Elazar. Pria itu hanya bisa menunjukkan senyumannya tanpa sepatah kata pun.