Dinner

Baru kali ini Raga menghabiskan waktu cukup lama di walk-in-closet karena sibuk mencari pakaian yang harus dia kenakan untuk dinner nanti. Dia tak punya banyak baju formal karena gaya berpakaiannya cenderung santai. Bahkan sampai Ligar pulang dari kantornya pun, Raga masih berkutat di sana.

“Kamu mau obral baju?” Raga menoleh ke sumber suara. Ligar nampak menatap heran pada Raga dan sekelilingnya.

“Lagi cari baju,” balasnya lalu kembali dengan kegiatannya.

“Yang kamu keluarin sebanyak itu bukan baju emangnya?” Ligar hanya melempar senyum ketika mendapat lirikan Raga atas pertanyaannya. “Pipoy, kamu mau pake apapun tetep bagus. Santai aja dinner sama Mami Papi,” lanjutnya.

Raga berdiri dengan mengangkat dua buah pakaian dan meminta Ligar memilihkan untuknya. Jujur, dirinya benar-benar dalam bingungnya. Raga tidak tahu bagaimana acara nanti akan berjalan dan harus bersikap seperti apa.

“Gak perlu terlalu formal, ini aja,” tunjuk Ligar pada kemeja coklat di tangan kanan Raga. “Yang paling penting itu nanti kamu jangan sembunyiin senyum manis kamu. Biarin Papi sama Mami lihat itu,” lanjutnya seraya membuat senyum Raga dengan jemarinya.


Ligar dan Raga akhirnya sampai pada tempat dinner mereka selepas ribut sejenak bersama Arsen tadi karena dirinya tak diajak. Dengan tangan yang saling menggenggam, keduanya memasuki restoran tersebut dan mencari tempat yang sudah direservasi.

Langkah Raga seketika terhenti ketika mendapati bukan hanya orang tua Ligar yang ada di sana, melainkan juga orang tuanya. Sebelah telapak Ligar memberikan usapan hangat pada punggung tangan Raga dan kembali membawanya melangkah menuju bangku mereka.

Entah kenapa justru ada rasa malu dalam diri Raga melihat orang tuanya ada di sana. Keluarga pecah belahnya dihadapkan dengan keluarga Ligar yang jauh dari kata hancur. Pun ada rasa takut dalam dirinya membayangkan bagaimana orang tuanya akan merespon makan malam ini nantinya. Disisi itu, Raga juga masih terheran bagaimana bisa orang tuanya berada di sana sementara setiap dirinya ingin sejenak bercengkrama saja susah bertemunya.

Raga memilih diam, membiarkan Ligar menuturkan segalanya. Dia berpegang pada Ligar hari ini. Dirinya amati raut orang tuanya yang berbanding terbalik dengan orang tua Ligar yang tampak mengumbar senyumnya ketika putranya memberitahukan rencana pernikahannya.

“Saya sudah pernah peringatkan kamu perihal anak saya dan kamu ternyata bersikeras untuk bersama anak saya. Kalian bisa memutuskan keputusan kalian sendiri, kalau mau menikah ya silahkan saja. Saya hanya berharap untuk kamu, semoga tidak bertemu lagi dengan perceraian setelah menikah dengan anak saya.” Raga jelas dengarkan itu sebagai ejekan untuknya.

“Terima kasih dan harapan saya untuk Bapak juga sama, semoga tidak bertemu lagi dengan perceraian.” Raga tersentak mendengar penuturan Ligar.

“Apa yang buat kamu yakin dengan anak saya?” Kini ganti Mama Raga bertanya. Raga seketika mengalihkan pandang ketika sorotnya bertemu lirikan sang Mama.

“Raga dekat dengan putra saya.” Nampak pandangan terkejut dan heran dari orang tua Raga ketika mendengarnya. “Lihat Raga sebagai Raga, kalian akan tahu,” lanjut Ligar seraya menatap Raga di sebelahnya.

Jika Ligar hanya melihat Raga sebagai Raga si ketua geng motor, sampai hari ini yakinnya tidak pernah ada. Raga perlu dilihat sebagai dirinya sendiri untuk tahu siapa dan bagaimana dia.

“Kalau kamu, Raga?” Raga menaikkan alisnya ketika Mami Ligar menujukan pertanyaan padanya. “Apa yang buat kamu yakin mau menikah sama Mas Ligar?”

“Dia menerima saya sebagai Raga,” jawabnya singkat.

Raga menoleh karena merasa terus dipandangi. Pandangannya bertemu dengan Ligar yang mengulas senyum lebarnya. Dengan cepat Raga mengalihkan pandangannya setelah sejenak bertemu dengan pandangan Ligar. Kalau saja tidak sedang berhadapan dengan orang tua mereka, Ligar pasti sudah meledek aksi salang tingkahnya walaupun Raga sendiri tak merasa sedang salah tingkah. Raga memang jagonya menutupi salah tingkah walaupun Ligar masih bisa menyadarinya.

“Kalian rencana mau nikah kapan?” tanya Papi Ligar.

“Rencananya dua bulan lagi, tapi mau cocokin tanggal sama kalian.” Ligar tentu menginginkan kehadiran mereka secara lengkap pada pernikahannya.

“Saya ada business trip bulan itu,” sahut Papa Raga. “Pertengahan bulan itu putri saya ada olimpiade di Jepang,” timpal Mama Raga.

“Minggu depan bisa?” “Gila lo?!” Raga menendang kaki Ligar di bawah meja. “Maksudku, yang bener aja minggu depan? Jangan ngaco,” ulang Raga membenarkan ucapan spontannya.

Selama percekcokan tanggal pernikahan dirinya dan Ligar, Raga tak ikut ambil campur. Orang tuanya menuturkan segala kesibukannya seolah tak bisa sehari saja menyempatkan untuk pernikahannya. Dirinya justru sibuk memperhatikan Ligar yang mulai geram karena tak menemukan hari yang pas dengan empat orang tua mereka bisa hadir. Ekspresi Ligar yang geram namun tetap berusaha mempertahankan senyumnya itu membuat senyum Raga sedikit terulas tanpa sadar.

“Kita nikah di KUA doang ajalah Pipoy,” celetuk Ligar yang nampak pasrah. Ligar meneguk separuh minumannya dalam sekali waktu untuk membasahi tenggorokannya.

“Kalo Papa sama Mama gak bisa dateng yaudah sih, ada Papi sama Mami kamu,” tutur Raga akhirnya menyuarakan apa yang sedari tadi dirinya tahan.

“Kamu menikah loh ini, masa yang sama kamu cuma anak motor kamu? Wali kamu anak motor?” Raga memberikan anggukannya. Bagi Raga, geng motornya lebih terasa seperti keluarganya daripada orangtuanya sendiri. Sebelum Ligar, anak-anak geng motornya lah yang menjadi saksi jatuh-bangunnya, terlebih Harry.

“Atur saja bulan depan, saya akan usahakan datang,” sahut Papa Raga setelah mendengar pertanyaan Ligar pada Raga. “Saya izin pamit, ada hal yang perlu saya urus,” lanjutnya beranjak meninggalkan meja mereka.

“Ya, atur saja bulan depan,” timpal Mama Raga satu suara dengan mantan suaminya itu.

“Papi ready wes, apalagi Mamimu ready selalu wes Mas,” sahut Papi Ligar.

Selepas makan malam itu, Ligar menyadari satu hal bahwa sikap Raga yang seolah tak peduli namun nyatanya sebaliknya itu didapatkan dari orangtuanya. Ligar bisa mengasumsikan hal itu karena selepas dirinya mendatangi orang tua Raga secara personal untuk meminta izin dan memberi ajakan untuk dinner malam ini, keduanya beberapa kali menghubunginya untuk mempertanyakan dirinya dan Raga. Gayanya saat menghubunginya persis seperti Raga, lagaknya cuek dan keras padahal ingin tahu perihal anaknya.

“Ngetawain apaan sih?” heran Raga pada Ligar yang tiba-tiba terkekeh disaat keduanya tak ada bahasan dan jalanan luar sudah sepi karena malam semakin larut. “Gapapa.” Raga mendengus atas jawaban Ligar.